02 Juli 2012

Konten Media: Sebuah Diskursus Fiksi yang Bersifat Adiktif

Oleh: Annisa Gemala Dewi, Putri Huddani, dan Citra P. Nanda

Sesuai dengan paparan dalam buku “Introducing Cultural and Media Studies” karangan Tony Thwoites, Llyod Davis, dan Warwick Mules, bahwa media memiliki dampak yang besar bagi khalayak di dunia baik dari segi psikologis maupun kultural. Konten yang disampaikan ada yang berupa fakta dan juga fiksi atau karangan semata. Kami setuju dengan pandangan F.R. Leavis dan Denys Thompson dalam bukunya “Culture and Environment” (1977) yang menyalahkan fiksi populer karena isinya hanya menawarkan bentuk-bentuk adiktif berupa ‘kompensasi’ dan ‘distraksi’. Membaca buku-buku fiksi romantis dan menonton televisi yang menayangkan program serial fiksi memang bisa ‘melahirkan sebuah kebiasaan dalam berfantasi yang mengakibatkan maladaptasi dalam kehidupan nyata’.

Konten media: melahirkan sifat delusional
Di Indonesia sendiri buku-buku fiksi romantis sudah mulai populer sejak tahun 1990-an. Pembacanya rata-rata remaja usia 14-19 tahun yang ibaratnya sekarang diakatakan “masih labil’, masih belum bisa menemukan dan menempatakkan jati dirinya sendiri. Dulu ketika kami masih SMP, ada salah satu teman kami yang berfantasi dan mengkhayal kalau dia punya pacar seperti karakter tokoh didalam novel teenlit yag berjudul “Dealova”. Sedangkan untuk program serial fiksi di Indonesia, yaitu sinetron, banyak ditayangkan oleh televisi swasta seperti RCTI, SCTV, dan Indosiar. Banyaknya sinetron tersebut mengakibatkan beberapa orang yang menontonnya-terlebih yang tidak beredukasi tinggi-meniru seluruh perkataan bahkan karakter aktor yang memerankannya dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Mereka juga menjadi kecanduan dan perhatiannya terdistraksi dari kehidupan sosialnya, karena mereka selalu menunggu tayangan episode selanjutnya di hari esok, dalam jam yang sama.

Kecanduan seperti itulah yang ‘membantu mencipatkan suatu atmosfer yang tidak kondusif bagi aspirasi minoritas’ (“kultural”), hal itu menjadi buruk apalagi ketika seseorang mulai meninggalkan kehidupan nyatanya dan masuk ke dalam kehidupan fiksi yang dibuat oleh media.



Konten media: sesuai dengan kepentingan media itu sendiri
Media memilki kepentingan sendiri, maka pesan yang disampaikan juga diatur sedemikian rupa. Teknik profesional media melibatkan perepresentasian berita melalui penggunaan skema naratif dan denotatif berulang. Asumsi yang diciptakan dari perepresentasian tersebut berupa objektivitas, kebenaran dan pengetahuan tentang pemirsa untuk menyerap versi tertentu mengenai dunia. Jadi, sebenarnya media itu hampir sama dengan mitos. Karena baik media maupun mitos, keduanya sama-sama mencoba untuk menjadikan dunia tampak familiar bagi pemirsa atau pembaca, dengan menciptakan suatu pandangan yang sama tantang dunia berdasarkan skema dan tipe kategoris naratif. Maka dari itu, media terkadang membuat kita menjadi stereotip terhadap sesuatu karena banyak sekali aspek-aspek tertentu yang media seleksi sebagai hal yang layak untuk diberitakan, sementara ada juga beberapa aspek-aspek lainnya yang disisihkan karena tidak sesuai dengan skema naratif dan denotatif berulang.
Pemberitaan media mengenai konflik antara politisi, kriminal melawan aparat atau sebaliknya (isu-isu negatif) pada umumnya dibuat agar cocok dengan skema.  Bagi media, menyampaikan berita atau informasi dengan cara ini berarti memberikan konsistensi dan menawarkan nilai yang sebelummnya memang ingin ditawarkan oleh media kepada khalayak. Perepresentasian dunia secara mitis oleh dapat membuat perasaan khalayak yang membaca atau mendengarnya menjadi kuat dan kukuh serta berimaji secara visual dalam kehidupan sehari-hari. -i

Konten media: manipulasi publik
Diskursus media terjalin dengan percetakan dan teknologi elektronik. Diskursus ini bergantung pada investasi yang sangat besar dalam bidang peralatan yang mampu mereproduksi semua jenis teks (huruf cetak, gambar, dan suara) pada ruang sosial yang luas.  Sarana untuk menyirkulasikan teks media terpencil dari sarana yang digunakan oleh individu untuk memproduksi diskursus kehidupan sehari-hari yang bersifat pribadi dan biasa. Meski demikian, apa yang dihasilkan sarana itu adalah efek alamat yang langsung dan bahkan intim.
Contoh utama alamat langsung adalah televisi. Para presenter berita selalu berbicara langsung pada kamera, sambil menggunakan beberapa aspek percakapan pribadi dengan penonton. Ini sering diperkuat dengan penggunaan gaya alamat personal yang dipakai oleh presenter, memanggil satu sama lainnya dengan nama panggilan dan memasukkan komentar pribadi di sela-sela warta berita. Seolah-olah mereka ada tepat di dalam ruang tamu kita. Contoh lainnya juga bisa dilihat bukan pada acara berita, tapi pada acara reality show. Reality show merupakan tren yang melibatkan para artis atau pemeran acara tersebut, yang selalu diikuti oleh kamera saat melakukan kegiatan sehari-harinya, biasanya akan ada sesi dimana dia akan mengomentari hal-hal yang terjadi dan dia akan menceritakan langsung ke arah kamera. Disini penonton seperti dibawa masuk ke dalam kehidupan artis tersebut, seakan-akan dia bercerita langsung ke arah kita seperti mengobrol bersama teman sendiri. Tren reality show ini terkadang tidak sepenuhnya benar, terkadang ada skrip yang sudah dibuat, sehingga dapat memberikan bumbu yang dapat membuat acara tersebut lebih “renyah”. Manipulasi merupakan suatu hal yang sudah biasa terjadi di media. Sama halnya dengan foto-foto yang ada di surat kabar, majalah, dll foto tersebut seringkali sudah disunting dan dimanipulasi terlebih dahulu. Makna foto beragam seiring penjangkarannya, dan dengan begitu mendefinisikan ulang suatu peristiwa. Foto surat kabar dan majalah tidak semata-mata merefleksikan kehidupan nyata: foto itu memproduksi realitas. Efek realitas ini adalah mengurangi keterkonstruksiannya teks surat kabar serta memperkuat fungsi denotatif dan referensial teks tersebut. Foto tampak menetralisir tanda faktor institusional yang mungkin muncul melalui pemroduksian nilai sosial dan kultural oleh media. -p




Konten media: melahirkan ideology konsumerisme
Dalam bukunya yang berjudul Cultural Studies and The Studies of Pop Culture, John Storey (1996) menjelaskan bahwa konsumsi muncul pada akhir 1950-an dan awal 1960-an sebagai perhatian budaya. Pada tahun 1970-an, konsumsi menjadi salah satu perdebatan hangat dalam kajian budaya karena konsumsi menghasilkan makna alternative dan oposisional dalam menyediakan beragam komuditas pada pelbagai subkultur.
Teori konsumsi sendiri bermula dari pandangan Marxis klasik. Namun, pandangan ini memiliki perbedaan antara konsumsi pada masyarakat kapitalis dan feudal. Bagi Karl Marx dan Fredick Engels, masyarakat prakapitalis (feodal di Inggris) bukanlah masyarakat konsumen karena barang-barang sebagian besar dibuat untuk konsumsi segera atau ditukar dengan barang-barang lain. Transisi dari feodalisme ke kapitalis adalah suatu transisi dari produksi yang digerakan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakan oleh keuntungan.
Psikoanalisis poststrukturalis, Jacques Lacan, menawarkan sebuah model pemikiran krisis mengenai konsumsi yang disebut “Ideologi Konsumerisme”. Ideologi ini bergerak sesuai dengan ideology roman yang dijelaskan sebagai sebuah narasi yang terbangun diseputar pencarian: ‘cinta’. Konsumsi mengisyarakat ketidaklengkapan.


Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, kemunculan televisi yang dapat menyebabkan masyarakat dalam mendengar suara dan juga melihat bentuk visual suatu benda menjadi landasaran dasar perkembangan budaya konsumsi. Pada salah satu serial TV yang ditayangkan di Amerika berjudul Mad Men, dijelaskan secara jelas dan gamblang bagaimana suatu iklan dapat membuai masyarakat untuk membeli suatu barang secara terus menurus. Konsumsi menjadi suatu kegiatan wajib dan akhirnya menjadi suatu budaya dalam dunia kapitalisme.

Konten media: melejitkan budaya penggemar dan mengabadikan budaya konsumsi
Televisi diisi dengan para “manusia sempura” yang mau tidak mau melahirkan sebuah kelompok penggemar. Hingga awal tahun 2000-an iklan menjadi suatu alat dalam perkembangan ideology konsumsi. Para penggemar yang menjadi bagian yang paling tampak dalam praktik budaya pop menjadi target empuk dalam melaksanaan budaya konsumerisme. Seperti contoh diatas artikel ini, konten media melahirkan sifat delusional kepada penggemar.
Budaya penggemar yang dulunya diperlakukan dengan dua cara: ditertawakan dan dipatologikan sekarang menjadi penggerak dalam dunia konsumsi. Penggemar yang dicirikan sebagai suatu kefanatikan yang potensial, pada abad ke-21 menjadi salah satu faktor penting dalam pergerakan keuangan suatu Negara. Penggemar dipahami menjadi korban-korban pasif dan patologis media massa.

Sebagai contoh, Korean Wave yang gila-gilaan disiarkan oleh media bagaikan suatu ajaran agama bagi para penggemar setia audience mereka. Para aktor, aktris, dan penyanyi Korea yang menghidupkan kembali “Barbie Syndrome” membuat penggemarnya tidak ragu-ragu pergi dan menghabiskan uang mereka untuk membeli produk pakaian yang sesuai dan merubah muka dan badan mereka dengan cara operasi plastik agar sesuai dengan apa yang para pelaku media Korea. Di Indonesia puluhan ribu penggemar K-Pop rela mengantri berjam-jam dan berdesakan demi membeli tiket penyanyi kesukan mereka. Harga tiket konser para penyanyi K-Pop pun itu tidak murah, yaitu berkisar 1 juta-2,5 juta rupiah. Konten media yang menyebabkan mereka rela akan hal-hal tersebut. Seorang teman saya pernah bercerita bahwa ketika ia sedang mengantri untuk membeli tiket konser sebuah grup pop Korea, Super Junior (SuJu), ia bertemu dengan seorang bapak yang berusia kira-kira 50 tahun ikut mengantri tiket konser ini. Ketika ditanya mengapa bapak ini ikut mengantri, beliau menjawab dia ikut mengantri membeli tiket konser SuJu untuk anak perempuannya yang berusia 14 tahun kerena anak perempuannya ini sudah tiga hari tidak makan sebagai bentuk protes ke orang tuanya karena tidak kebagian tiket konser SuJu. I mean, WHAT THE HELL IS GOING ON HERE?! Seriously??!!!


Budaya konsumerisme yang terus dilancarkan oleh media seharusnya bisa menyadarkan masyarakat untuk melihat pola kapitalis di dalamnya. masyarakat seiring dengan perkembangan teknologi informasi seharusnya lebih mampu memilah-milih informasi apa saja yang bermanfaar baginya dan mana yang membutakan. namun, hal ini kembali pada individu masing-masing. so, which one are you? -c.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar