Oleh: Annisa Gemala Dewi, Putri Huddani, dan
Citra P. Nanda
Sesuai dengan paparan dalam buku “Introducing Cultural and Media Studies”
karangan Tony Thwoites, Llyod Davis, dan Warwick Mules, bahwa media memiliki
dampak yang besar bagi khalayak di dunia baik dari segi psikologis maupun
kultural. Konten yang disampaikan ada yang berupa fakta dan juga fiksi atau
karangan semata. Kami setuju dengan pandangan F.R. Leavis dan Denys Thompson
dalam bukunya “Culture and Environment” (1977)
yang menyalahkan fiksi populer karena isinya hanya menawarkan bentuk-bentuk
adiktif berupa ‘kompensasi’ dan ‘distraksi’. Membaca buku-buku fiksi romantis
dan menonton televisi yang menayangkan program serial fiksi memang bisa
‘melahirkan sebuah kebiasaan dalam berfantasi yang mengakibatkan maladaptasi
dalam kehidupan nyata’.
Konten media: melahirkan sifat delusional
Di Indonesia sendiri buku-buku fiksi
romantis sudah mulai populer sejak tahun 1990-an. Pembacanya rata-rata remaja
usia 14-19 tahun yang ibaratnya sekarang diakatakan “masih labil’, masih belum
bisa menemukan dan menempatakkan jati dirinya sendiri. Dulu ketika kami masih
SMP, ada salah satu teman kami yang berfantasi dan mengkhayal kalau dia punya
pacar seperti karakter tokoh didalam novel teenlit yag berjudul “Dealova”.
Sedangkan untuk program serial fiksi di Indonesia, yaitu sinetron, banyak
ditayangkan oleh televisi swasta seperti RCTI, SCTV, dan Indosiar. Banyaknya
sinetron tersebut mengakibatkan beberapa orang yang menontonnya-terlebih yang
tidak beredukasi tinggi-meniru seluruh perkataan bahkan karakter aktor yang
memerankannya dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Mereka juga menjadi
kecanduan dan perhatiannya terdistraksi dari
kehidupan sosialnya, karena mereka selalu menunggu tayangan episode selanjutnya
di hari esok, dalam jam yang sama.
Kecanduan seperti itulah yang
‘membantu mencipatkan suatu atmosfer yang tidak kondusif bagi aspirasi
minoritas’ (“kultural”), hal itu menjadi buruk apalagi ketika seseorang mulai
meninggalkan kehidupan nyatanya dan masuk ke dalam kehidupan fiksi yang dibuat
oleh media.
Konten media: sesuai dengan kepentingan media itu sendiri
Media memilki kepentingan sendiri,
maka pesan yang disampaikan juga diatur sedemikian rupa. Teknik profesional
media melibatkan perepresentasian berita melalui penggunaan skema naratif dan
denotatif berulang. Asumsi yang diciptakan dari perepresentasian tersebut
berupa objektivitas, kebenaran dan pengetahuan tentang pemirsa untuk menyerap
versi tertentu mengenai dunia. Jadi, sebenarnya media itu hampir sama dengan
mitos. Karena baik media maupun mitos, keduanya sama-sama mencoba untuk
menjadikan dunia tampak familiar bagi pemirsa atau pembaca, dengan menciptakan
suatu pandangan yang sama tantang dunia berdasarkan skema dan tipe kategoris
naratif. Maka dari itu, media terkadang membuat kita menjadi stereotip terhadap
sesuatu karena banyak sekali aspek-aspek tertentu yang media seleksi sebagai
hal yang layak untuk diberitakan, sementara ada juga beberapa aspek-aspek
lainnya yang disisihkan karena tidak sesuai dengan skema naratif dan denotatif
berulang.
Pemberitaan media mengenai konflik
antara politisi, kriminal melawan aparat atau sebaliknya (isu-isu negatif) pada
umumnya dibuat agar cocok dengan skema.
Bagi media, menyampaikan berita atau informasi dengan cara ini berarti
memberikan konsistensi dan menawarkan nilai yang sebelummnya memang ingin
ditawarkan oleh media kepada khalayak. Perepresentasian dunia secara mitis oleh
dapat membuat perasaan khalayak yang membaca atau mendengarnya menjadi kuat dan
kukuh serta berimaji secara visual dalam kehidupan sehari-hari. -i
Konten media: manipulasi publik
Diskursus
media terjalin dengan percetakan dan teknologi elektronik. Diskursus ini
bergantung pada investasi yang sangat besar dalam bidang peralatan yang mampu
mereproduksi semua jenis teks (huruf cetak, gambar, dan suara) pada ruang
sosial yang luas. Sarana untuk
menyirkulasikan teks media terpencil dari sarana yang digunakan oleh individu
untuk memproduksi diskursus kehidupan sehari-hari yang bersifat pribadi dan
biasa. Meski demikian, apa yang dihasilkan sarana itu adalah efek alamat yang
langsung dan bahkan intim.
Contoh
utama alamat langsung adalah televisi. Para presenter berita selalu berbicara
langsung pada kamera, sambil menggunakan beberapa aspek percakapan pribadi
dengan penonton. Ini sering diperkuat dengan penggunaan gaya alamat personal
yang dipakai oleh presenter, memanggil satu sama lainnya dengan nama panggilan
dan memasukkan komentar pribadi di sela-sela warta berita. Seolah-olah mereka
ada tepat di dalam ruang tamu kita. Contoh lainnya juga bisa dilihat bukan pada
acara berita, tapi pada acara reality show. Reality show merupakan tren yang
melibatkan para artis atau pemeran acara tersebut, yang selalu diikuti oleh
kamera saat melakukan kegiatan sehari-harinya, biasanya akan ada sesi dimana
dia akan mengomentari hal-hal yang terjadi dan dia akan menceritakan langsung
ke arah kamera. Disini penonton seperti dibawa masuk ke dalam kehidupan artis
tersebut, seakan-akan dia bercerita langsung ke arah kita seperti mengobrol
bersama teman sendiri. Tren reality show ini terkadang tidak sepenuhnya benar,
terkadang ada skrip yang sudah dibuat, sehingga dapat memberikan bumbu yang
dapat membuat acara tersebut lebih “renyah”. Manipulasi merupakan suatu hal
yang sudah biasa terjadi di media. Sama halnya dengan foto-foto yang ada di
surat kabar, majalah, dll foto tersebut seringkali sudah disunting dan
dimanipulasi terlebih dahulu. Makna foto beragam seiring penjangkarannya, dan
dengan begitu mendefinisikan ulang suatu peristiwa. Foto surat kabar dan
majalah tidak semata-mata merefleksikan kehidupan nyata: foto itu memproduksi
realitas. Efek realitas ini adalah mengurangi keterkonstruksiannya teks surat kabar
serta memperkuat fungsi denotatif dan referensial teks tersebut. Foto tampak
menetralisir tanda faktor institusional yang mungkin muncul melalui
pemroduksian nilai sosial dan kultural oleh media. -p
Konten media: melahirkan ideology konsumerisme
Dalam bukunya yang berjudul Cultural
Studies and The Studies of Pop Culture, John Storey (1996) menjelaskan bahwa
konsumsi muncul pada akhir 1950-an dan awal 1960-an sebagai perhatian budaya.
Pada tahun 1970-an, konsumsi menjadi salah satu perdebatan hangat dalam kajian
budaya karena konsumsi menghasilkan makna alternative dan oposisional dalam
menyediakan beragam komuditas pada pelbagai subkultur.
Teori konsumsi sendiri bermula dari
pandangan Marxis klasik. Namun, pandangan ini memiliki perbedaan antara
konsumsi pada masyarakat kapitalis dan feudal. Bagi Karl Marx dan Fredick
Engels, masyarakat prakapitalis (feodal di Inggris) bukanlah masyarakat
konsumen karena barang-barang sebagian besar dibuat untuk konsumsi segera atau
ditukar dengan barang-barang lain. Transisi dari feodalisme ke kapitalis adalah
suatu transisi dari produksi yang digerakan oleh kebutuhan menuju produksi yang
digerakan oleh keuntungan.
Psikoanalisis poststrukturalis,
Jacques Lacan, menawarkan sebuah model pemikiran krisis mengenai konsumsi yang
disebut “Ideologi Konsumerisme”. Ideologi ini bergerak sesuai dengan ideology
roman yang dijelaskan sebagai sebuah narasi yang terbangun diseputar pencarian:
‘cinta’. Konsumsi mengisyarakat ketidaklengkapan.
Seiring dengan perkembangan jaman dan
teknologi, kemunculan televisi yang dapat menyebabkan masyarakat dalam
mendengar suara dan juga melihat bentuk visual suatu benda menjadi landasaran
dasar perkembangan budaya konsumsi. Pada salah satu serial TV yang ditayangkan
di Amerika berjudul Mad Men,
dijelaskan secara jelas dan gamblang bagaimana suatu iklan dapat membuai
masyarakat untuk membeli suatu barang secara terus menurus. Konsumsi menjadi
suatu kegiatan wajib dan akhirnya menjadi suatu budaya dalam dunia kapitalisme.
Konten media: melejitkan budaya penggemar dan mengabadikan budaya
konsumsi
Televisi diisi dengan para “manusia
sempura” yang mau tidak mau melahirkan sebuah kelompok penggemar. Hingga awal
tahun 2000-an iklan menjadi suatu alat dalam perkembangan ideology konsumsi. Para
penggemar yang menjadi bagian yang paling tampak dalam praktik budaya pop
menjadi target empuk dalam melaksanaan budaya konsumerisme. Seperti contoh
diatas artikel ini, konten media melahirkan sifat delusional kepada penggemar.
Budaya penggemar yang dulunya diperlakukan
dengan dua cara: ditertawakan dan dipatologikan sekarang menjadi penggerak
dalam dunia konsumsi. Penggemar yang dicirikan sebagai suatu kefanatikan yang
potensial, pada abad ke-21 menjadi salah satu faktor penting dalam pergerakan
keuangan suatu Negara. Penggemar dipahami menjadi korban-korban pasif dan
patologis media massa.
Sebagai contoh, Korean Wave yang gila-gilaan disiarkan oleh media bagaikan suatu
ajaran agama bagi para penggemar setia audience mereka. Para aktor, aktris, dan
penyanyi Korea yang menghidupkan kembali “Barbie
Syndrome” membuat penggemarnya tidak ragu-ragu pergi dan menghabiskan uang
mereka untuk membeli produk pakaian yang sesuai dan merubah muka dan badan
mereka dengan cara operasi plastik agar sesuai dengan apa yang para pelaku
media Korea. Di Indonesia puluhan ribu penggemar K-Pop rela mengantri
berjam-jam dan berdesakan demi membeli tiket penyanyi kesukan mereka. Harga
tiket konser para penyanyi K-Pop pun itu tidak murah, yaitu berkisar 1 juta-2,5
juta rupiah. Konten media yang menyebabkan mereka rela akan hal-hal tersebut.
Seorang teman saya pernah bercerita bahwa ketika ia sedang mengantri untuk
membeli tiket konser sebuah grup pop Korea, Super
Junior (SuJu), ia bertemu dengan seorang bapak yang berusia kira-kira 50
tahun ikut mengantri tiket konser ini. Ketika ditanya mengapa bapak ini ikut
mengantri, beliau menjawab dia ikut mengantri membeli tiket konser SuJu untuk
anak perempuannya yang berusia 14 tahun kerena anak perempuannya ini sudah tiga
hari tidak makan sebagai bentuk protes ke orang tuanya karena tidak kebagian
tiket konser SuJu. I mean, WHAT THE HELL IS GOING ON HERE?!
Seriously??!!!
Budaya konsumerisme yang terus dilancarkan oleh media seharusnya bisa menyadarkan masyarakat untuk melihat pola kapitalis di dalamnya. masyarakat seiring dengan perkembangan teknologi informasi seharusnya lebih mampu memilah-milih informasi apa saja yang bermanfaar baginya dan mana yang membutakan. namun, hal ini kembali pada individu masing-masing. so, which one are you? -c.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar